Museum Vianney
Tim kami sangat beruntung karena pada
saat berkunjung ke Museum Vianney, Fr. Clemens BHK selaku Direktur dari
Museum tersebut sedang berada di tempat, sehingga kami dapat bertatap
muka dan berbincang-bincang dengan beliau. Mungkin dari sekitar lima museum yang terdapat di Malang Raya, Museum Zoologi “Frater Vianney BHK” atau lebih sering disebut dengan “Museum Vianney,” adalah museum yang kurang populer di kalangan masyarakat Kota Malang.
Lokasi museum yang cukup jauh dari pusat
kota serta publikasi yang kurang, menjadikan museum ini tidak dikenal
luas. Pengunjung museum ini rata-rata adalah anak-anak sekolah, dan
kelompok-kelompok tertentu yang memiliki minat terhadap Zoologi.
Jarang sekali terlihat masyarakat umum yang sengaja berkunjung ke
tempat ini. Museum yang terletak di Jalan Karangwidoro 7, Kecamatan Dau,
Kabupaten Malang ini, berada tidak jauh dari lokasi Candi Badut dan
Candi Karangbesuki. Ratusan spesimen konkologi (cabang zoologi yang mempelajari kerang-kerangan darat dan laut) serta herpetologi
(cabang zoologi yang mempelajari reptil) dalam keadaan sudah
terklasifikasi. Koleksi yang sangat langka dan satu-satunya di Indonesia
ini memang sangat cocok dijadikan media pembelajaran bagi para pelajar
dan masyarakat umum.
Direktur Museum Zoologi, Frater M. Clemens BHK, menjelaskan bahwa ratusan koleksi museum itu adalah gabungan dari koleksi almarhum gurunya, Frater Vianney BHK dan koleksinya sendiri. Koleksi itu meliputi sedikitnya 80 famili hewan Mollusca
(hewan avertebrata bertubuh lunak) yang ada di Indonesia. Ratusan
spesimen di museum ini sudah tertata dan diidentifikasi dengan baik oleh
kedua Frater tersebut; dan sebagian disumbangkan ke Perguruan Tinggi.
Gedung museum ini sendiri sebenarnya
sudah cukup layak, hanya memang kurang luas, sehingga jika pengunjung
cukup banyak, dipastikan mereka akan saling berdesakan. Museum ini
terdiri dari dua ruang utama; ruang pertama untuk ruang terima tamu dan
menyimpan beberapa koleksi kerang, ular hidup, dan penyu, sementara
ruang kedua berisi lemari-lemari besar yang bagian depannya ditutup
dengan kaca untuk display koleksi aneka macam kerang, dan
beberapa hewan yang diawetkan. Semuanya terawat dengan baik.
Dari semua
koleksi yang dikumpulkan di sini, yang paling mencolok adalah koleksi
kerang yang mencakup segala macam ukuran dan bentuk, seperti Kima yang berukuran besar, Kerang Mutiara berbentuk pipih, Telescopium yang menyerupai teleskop. Juga terdapat Nautilus yang selama 500 juta tahun bentuk fisiknya tidak mengalami perubahan sehingga dipuja sebagai fosil hidup. Juga kerang Epitonium yang sangat langka. Koleksi museum lainnya adalah burung Cendrawasih, burung hantu, kura-kura, kubung terbang. Dari kelas reptilia ada ular awetan basah meliputi ular weling, ular cincin mas, ular hijau; serta Iguana, dan juga terdapat awetan kering Singa (Panthera leo) hadiah dari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ratusan pelajar dari berbagai sekolah
secara berkala mengunjungi museum ini sebagai tempat pembelajaran
terutama dalam bidang biologi. Bahkan untuk beberapa sekolah, kunjungan
ke museum ini merupakan kunjungan berkala bagi anak didik baru agar
lebih mengenal keanekaragaman fauna.
Sekilas Kisah Fr.Clemens BHK
Mencermati gaya hidup Frater Maria Vianney BHK,
penampilan, cara mengajar, kedekatannya dengan sesama, cinta pada ilmu
pengetahuan, sangat mempesona dan memikat hati. Seluruh gaya hidup
beliau berimbas pada saya selaku anak didiknya. Saya kagum dan merasa
tertarik. Dari keterpesonaan inilah, akhirnya seluruh jalan hidup saya
mengalir dan bermuara ke sumber dan muara yang dilewati oleh Vianney.
Saya akhirnya dengan ikhlas menggabungkan diri dengan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). Pada 1961 saya resmi menjadi anggota kongregasi dalam acara penerimaan dan pengenaan busana (jubah) kebiaraan.
Mulai saat itu namaku yang semula JOHANES DJUANG KEBAN berubah menjadi Frater MARIA CLEMENS BHK.
Juni 1963 saya menyelesaikan pendidikan Sekolah Guru A (SGA) dan
dipindahkan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk mengajar di Sekolah
Dasar Katolik yang dikelola oleh Yayasan Swastisari. Sebelum itu,
Vianney telah dipindahkan ke Ndao, Ende, Flores, sebagai kepala SGA
Ndao.
Rencana mutasi saya ke Kupang ternyata terhambat sulitnya
mendapatkan kapal dari Larantuka ke Kupang. Saya disarankan untuk
menunggu di Ende, yang selalu disinggahi dua kapal Pelni (KM Rainy dan
KM Nanas) secara reguler. Betapa hati saya berbunga karena akan berjumpa
dengan Vianney. Selama saya di Ende, beliau meminjami saya buku tentang ular Ophidia javanica.
Buku ini karangan beliau sendiri. Saya diminta mempelajari dan
meringkasnya untuk dibawa ke Kupang, Pulau Timor. Akhirnya, pada
pertengahan September 1963 dengan KM Nanas saya tiba di Kupang, kota
karang. Di sini niat mengoleksi bakat ‘turunan’ itu mulai kuwujudkan.
Kegiatan saya setiap hari Sabtu sepulang
sekolah ialah bersepeda keluar kota Kupang bersama sejumlah anak SD.
Kami memasuki semak belukar sepanjang pesisir pantai atau naik turun
bukit kapur. Kegiatan ini memang ekstra repot. Harus membungkukkan
tubuh, melirik ke lubang-lubang batu, barangkali di sana buruan-buruan
kami sedang istirahat (ular, gecko, atau biawak).
Desember 1963, musim penghujan, tampak alam menghijau permai. Kami menangkap biawak (Varanus) yang asyik berkeliaran memangsa laron. Kali ini kami menangkap tiga ekor biawak. Biawak ini kemudian diteliti. Saya menyimpulkan bahwa ini bukan biawak biasa [umumnya disebut Varanus salvator, yang dagingnya biasa disantap]. Panjangnya mencapai dua meter. [Yang biasa ditangkap di Pulau Timor mencapai 80 cm. Warna dasar cokelat tua diselingi bintik-bintik kuning. Biawak jenis ini biasa berkeliaran pada musim hujan.
Saya mengalami hambatan dalam proses
pengawetan. Bagaimana harus menyuntik, memasukkan formalin 40 persen.
Ada usulan bahwa saya berkonsultasi ke kantor Dinas Kehewanan. Akhirnya,
saya berhasil menjumpai Bapak Djari. Selain dekan Fakultas Peternakan,
Universitas Nusa Cendana, Bapak Djari juga menjabat kepala Dinas
Kehewanan. Menurut beliau, formalin dapat dibeli di rumah sakit. Dan
beliau berjanji membantu penyuntikan Varanus.
Akhirnya, saya mulai mengandalkan imajinasi saya. Pyton timorensis nama yang kuberikan kepada sejenis ular pyton yang saya tangkap di Pulau Timor. Untuk biawak kuberi nama Varanus timorensis meskipun saya sendiri menyangsikannya.
Seekor yang telah diawetkan saya kirim kepada Frater Vianney di Ende, Flores. Apa jawaban beliau? Ternyata, menurut Vianney, Varanus itu juga terdapat di Australia Utara. Sedangkan nama yang kuberikan sangat tepat, katanya.
Sekilas Kisah Fr.Vianney BHK
Oleh Frater M Clemens BHK
“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama!” demikian peribahasa kita.
Hidup, karya, serta kharisma Frater M Vianney BHK telah menjadi sejarah Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). Nama beliau tetap hidup, mencuat, dan menantang kita, selaku penerus karya maha luhur ini.
Syukur, kharisma khusus ini diturunkan dan terpatri indah dalam sanubari seorang mantan anak didiknya, yang sangat mencintai sang gurunya. Dialah Frater M Clemens BHK.
Pada tahun-tahun akhir hidupnya, Frater Maria Vianney BHK [meninggal 5 Maret 1970] mendalami ilmu tentang kulit siput dan kerang. Inilah yang disebut konkologi (conchology): Ilmu yang mempelajari cangkang siput dan kerang.
Keasyikannya tidak sekadar berteori dengan mempelajari buku, tapi ia justru terjun langsung ke objek alam kerang dan cangkang. Ia asyik mengumpulkan dan mengoleksi sendiri. Di kala pasang surut ia mencari cangkang yang masih ada binatangnya. Cangkang yang telah sekian lama dan warna aslinya pudar atau hilang warnanya disingkirkan. Untuk memperoleh siput dan kerang yang hidup di laut dalam, Vianney meminta bantuan orang untuk menyelam.
Sesampai di biara, cangkang dibersihkan dengan mengeluarkan binatangnya dengan menggunakan air. Kemudian cangkang-cangkang itu diklasifikasi menurut famili, genus, spesies, tempat, serta tanggal penemuan. Masing-masing disusun dalam lemari kaca sehingga mudah dipandang saat orang mengadakan penelitian.
Frater Maria Vianney adalah
seorang berkebangsaan Belanda. Beliau seorang biarawan (rohaniwan)
Katolik dari Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). JKP van Hoessel,
nama pemberian orang tuanya, dilahirkan di Apeldoorn pada 2 Agustus
1908. Sedari muda dalam gemblengan keluarganya, ia mulai merasakan
adanya getaran kalbu, terpanggil untuk hidup membiara. Maka, pada 29
Agustus 1927 ia menggabungkan diri dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus dan memilih nama Frater Maria Vianney, lazim disapa Fr. M. Vianney BHK.
Sebelum Perang Dunia II, ia diutus
berlayar ke tanah misi. Menuju ke sebuah negeri indah di ufuk timur
belahan bumi, negeri khatulistiwa, Nusantara, Indonesia. Dan misionaris
muda karismatik ini ditugasi untuk berkarya di Malang, kota dingin di
Jawa Timur, selanjutnya Ende (Flores Tengah), kemudian Larantuka (Flores
Timur). Di ketiga kota ini beliau bertugas sebagai guru.
Tahun 1959, saya berstatus siswa Sekolah
Guru Atas (SGA) atau Pendidikan Sekolah Guru A. Di taman pendidikan
guru ternama inilah, untuk pertama kalinya, saya berjumpa dengan Fr. M.
Vianney. Waktu itu beliau sebagai pejabat kepala sekolah dan juga guru.
Beliau mengajarkan bidang studi Ilmu
Hayat (Biologi). Sebelum mengajar, ia telah menyiapkan diri secara
cermat dan selektif. Dipilihnya sejumlah pertanyaan tentang ilmu tubuh
manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan ilmu kesehatan.
Pertanyaan-pertanyaan itu dicatat di papan dan siswa menulis dalam buku
catatannya.
Setiap kali masuk kelas untuk mengajar, Vianney
membawa buku-buku pelajaran, termasuk sebatang tongkat kayu. Pada
momen-momen tertentu kayu itu ikut ‘berbicara’ (mengajar). Jika tongkat
itu dibunyikan berarti semua aktivitas dihentikan. Pandangannya
diarahkan kepada setiap siswa secara merata (menyapu). Siswa yang tidak
peduli –masih beraktivitas– didekatinya dengan tenang dalam kondisi
sabar menanti. Selanjutnya, dalam gaya menarik, penuh wibawa,
dijelaskannya satu per satu semua pertanyaan itu. Penjelasan yang
singkat dan sarat isi serta mudah dipahami oleh siswa.
Apa yang dilakukan Vianney jika
kelihatan ada siswa yang mulai lesu? Untuk membangkitkan semangat
siswa, ia beberapa kali melemparkan tongkat ke atas dan berusaha
menangkapnya dalam gaya seorang mayoret. Atau cara lain: Vianney
mulai menggerak-gerakkan gerahamnya sehingga kedua telinganya pun ikut
bergerak. Tentu, ini suatu keterampilan ekstra yang langka, yang tidak
dimiliki orang lain.
Setiap akhir suatu pelajaran, Vianney
menyumbangkan nasihat kecil kepada anak didiknya. Apa muatan nasihat
itu? Motivasi belajar untuk calon guru agar aktif menyiapkan diri
sebelum berguru di masyarakat. Carilah buku-buku sumber! Belajarlah
secara autodidak! Berinisiatif!
Celakalah, menurut Vianney, jika para calon guru ini hanya berkelakar tentang hal-hal yang sepele.
***
Источник: http://pesonamalangraya.com/?p=1290
Источник: http://pesonamalangraya.com/?p=1290
0 comments:
Post a Comment