Candi Jago
Suasana situs Candi Jago saat tim
pesonamalangraya berkunjung ke lokasi sangat sepi. Lengang. Tidak ada
pengunjung lain selain kami. Namun dari buku tamu yang kami isi, kami
tahu bahwa ada seorang turis atau mungkin pemerhati cagar budaya
berkebangsaan Prancis yang baru saja meninggalkan tempat ini sekitar dua
jam yang lalu.
Kamipun berjalan mengelilingi candi
sambil memperhatikan relief yang terpahat di dinding candi. Kami juga
menaiki candi untuk melihat dari dekat beberapa relief yang terpahat di
bagian atas candi. Mengamati struktur batu andesit yang digunakan untuk
membangun candi. Sebagian batu-batu andesit ini dibiarkan berceceran
begitu saja tanpa bentuk yang jelas, mungkin perlu adanya restorasi agar
sisa keagungan candi ini makin bisa dirasakan di zaman modern ini.
Candi Jago
berasal dari kata “Jajaghu”, didirikan pada masa Kerajaan Singhasari
pada abad ke-13. Berlokasi di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, atau
sekitar 22 km dari Kota Malang. Candi ini cukup unik, karena bagian
atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita masyarakat setempat
karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat
ditemui di candi ini, keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas
bahan batu andesit.
Struktur Candi Jago
Arsitektur Candi Jago disusun seperti
teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14
m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi;
yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil
badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan
teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap
dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum
diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru
atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan
relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha,
Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan
cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah
putaran jarum jam (pradaksiana).
Pada sudut kiri candi (barat laut)
terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini
terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat
fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor
angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah
perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka
mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga
terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya.
Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan
nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan
orang.
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian
cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada
dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.
Beberapa hiasan dan relief pada kaki
candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam
kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna
ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan
maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya
keinginan raksasa terkabul.
Pada teras ketiga terdapat cerita
Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha
sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa
Niwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak
sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan
Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini
berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna.
Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap
kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Asal Usul
Menurut kitab Negarakertagama dan
Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41
gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang
memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran
keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha.
Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari,
sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu,
yang artinya adalah ‘keagungan’, merupakan istilah yang digunakan untuk
menyebut tempat suci.
Masih menurut kitab Negarakertagama dan
Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai
dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4,
yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan
Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago
selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi
Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan
Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang
menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya.
Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan
Singasari. Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya
kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang
didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah
mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman
dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.
Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel
relief yang terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan
teratas. Hampir tidak terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi
dengan aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung
unsur pelepasan kepergian. Hal ini menguatkan dugaan bahwa pembangunan
Candi Jago berkaitan erat dengan wafatnya Sri Jaya Wisnuwardhana. Sesuai
dengan agama yang dianut oleh Raja Wisnuwardhana, yaitu Syiwa Buddha,
maka relief pada Candi Jago mengandung ajaran Hindu maupun Buddha.
Ajaran Buddha tercermin dalam relief
cerita Tantri Kamandaka dan cerita Kunjarakarna yang terpahat pada teras
paling bawah. Pada dinding teras kedua terpahat lanjutan cerita
Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata yang memuat ajaran agama
Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna Wiwaha. Teras ketiga dipenuhi dengan
relief lanjutan cerita Arjunawiwaha. Dinding tubuh candi juga dipenuhi
dengan pahatan relief cerita Hindu, yaitu peperangan Krisna dengan
Kalayawana.
Di tengah pelataran depan, sekitar 6 m
dari kaki candi, terdapat batu besar yang dipahat menyerupai bentuk
tatakan arca raksasa, dengan diameter batu sekitar 1 m. Di puncaknya
terdapat pahatan bunga padma yang menjulur dari bonggolnya.
Di sisi barat halaman candi terdapat
arca Amoghapasa berlengan delapan dilatarbelakangi singgasana berbentuk
kepala raksasa yang saling membelakangi. Kepala arca tersebut telah
hilang dan lengan-lengannya telah patah. Sekitar 3 m di selatan arca ini
terdapat arca kepala rasaksa setinggi sekitar 1 m. Tidak didapat
informasi apakah benda-benda yang terdapat di pelataran candi tersebut
memang aslinya berada di tempatnya masing-masing.
Sumber: pesonamalangraya.com
Sumber: pesonamalangraya.com
0 comments:
Post a Comment