Thursday, August 2, 2012

Candi Kidal

Saat tim pesonamalangraya mendatangi Candi Kidal, kami merasa cukup puas karena kondisi lokasi candi terawat dengan baik. Taman hijau di sekitar candi tertata dengan rapi dan terawat. Disediakan juga toilet bagi para pengunjung. Namun yang begitu mengesankan adalah kesan “Agung” dari candi tersebut masih begitu terasa.  Setelah mengisi buku tamu di pos juru kunci candi, kamipun dengan tidak sabar langsung berjalan mendekati candi yang dari kejauhan nampak indah sekali. Langit kelabu yang sewaktu-waktu dapat mengguyurkan hujan lebat tidak kami hiraukan.
Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang (sebelah timur Kota Malang). Candi ini berukuran Panjang 10,8 meter; Lebar 8,36 meter dan Tinggi 12.26 meter, setelah dipugar pada tahun 1986 sampai dengan tahun 1990. Tinggi aslinya diperkirakan 17 meter. Secara vertikal candi ini dapat dibagi menjadi kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Di dalam bilik candi tidak ditemukan arca selain Yoni ditengah-tengah ruangan. Yoni inipun  ketika ditemukan sudah berada di luar ruangan, diduga berasal dari ruangan candi.

Sebuah arca Siwa yang sekarang disimpan di “Royal Tripical Institute” Amsterdam, diduga berasal dari Candi Kidal. Arca tersebut tingginya 1,23 meter, digambarkan dengan sikap berdiri, bertangan empat, tangan kanan belakang memegang Aksamala, tangan kiri belakang memegang Cemara. Kedua tangan depan ditekuk di muka dada, telapak tangan kiri terbuka menghadap ke atas sedang telapak tangan kanan ada di atas telapak tangan kiri dalam sikap menggenggam dengan ibu jari diarahkan ke atas. Disampingnya terdapat bunga teratai yang keluar dari bonggol, menunjukkan personifikasi dinasti Singasari. Di dalam relung-relungnya tidak ditemukan arca. Seandainya arca Siwa memang berasal dari ruangan candi, dapat diduga bahwa relung-relung tersebut disediakan untuk arca Durga, Ganesha dan Agastya sebagaimana lazimnya Candi Siwa. Arca yang ditemukan dari candi tersebut ialah arca Nandiswara dan Mahakala. Arca-arca tersebut biasanya menempati relung-relung di kanan-kiri pintu masuk candi. Arca-arca lain yang pernah ditemukan adalah arca duduk yang diperkirakan dari Pantheon agama Buddha, dan sebuah arca duduk yang lain mungkin arca Manjucri. 

Selain itu masih ada temuan arca tanpa kepala dengan ciri-ciri Cakra pada tangan belakang dan Sankha pada tangan kiri (mungkin sekali arca Wisnu). Selain bangunan utama, bekas-bekas bangunan berdenah segi empat panjang dengan sisa-sisa dua buah tangga masuk pada sisi timur ujung utara dan selatan. Bahkan pada tahun 1901 masih terlihat sisa-sisa bangunan dari batu merah di halaman ini. Diduga Candi Kidal merupakan induk dari suatu komplek percandian yang tak hanya terdiri dari satu halaman saja, melainkan dua halaman.

Relief Garuda
Relief Garuda dipahatkan pada pilaster di tiap sisi kaki candi tepat pada sumbu ketiga sisi kaki candi. Penggambaran relief adalah sebagai berikut:
1. Sisi Utara.
Garuda digambarkan dengan sikap badan jongkok, kaki kanan ditekuk dengan lutut menumpu pada landasan. Tangan kanan diangkat ke atas dengan sikap menyangga suatu benda yang bulat. Di atas kepala Garuda duduk seorang wanita di atas Padma. Kaki kiri wanita tersebut dalam sikap bersila, kaki kanannya menggantung ke bawah disangga oleh tangan kanan Garuda. Disampingnya terukir tiga ekor naga.
2. Sisi Timur.
Garuda digambarkan dalam sikap yang sama seperti sisi utara. Tangan kanan memegang seberkas ikatan, yang ditafsirkan sebagai seikat kuca (rumput). Di atas kepala Garuda terdapat Guci Amerta.
3. Sisi Selatan.
Garuda masih digambarkan dalam sikap yang sama, di atas kepalanya ada tiga ekor naga. Naga-naga tersebut ada di atas Padma. Ekor naga yang tengah menggantung ke bawah disangga oleh tangan Garuda.
Relief itu menggambarkan cerita Garudeya, yang pembacaannya diurutkan secara Pradaksina, berturut-turut dari sisi utara adalah Garuda dengan ibunya, Garuda dengan Guci Amerta yang telah direbutkan antara dewa dan Garuda dengan para naga.

Arah pembacaan relief menurut Prasawya, akan didapatkan susunan:
1. Sisi Selatan.
Garuda dalam kekuasaan para naga. Ibu Garuda masih dalam perbudakan Sang Kadru.
2. Sisi Timur.
Garuda telah mendapatkan Amerta sebagai penebus Ibunya, seikat kuca (rumput) menjelaskan pada kita bahwa Amerta telah direbut dari para Dewa dan kini disangkutkan pada Kuca, sementara pada naga disuruh oleh Garuda membersihkan badannya sebelum minum Amerta.
3. Sisi Utara.
Garuda siap berangkat bersama ibunya meninggalkan para naga karena telah bebas dari perbudakan Sang Kadru.

Masa Pembangunan dan Fungsi Candi Kidal.

Masa pendirian Candi Kidal tidak dapat diketahui dengan pasti. Hal ini karena tidak adanya data pertanggalan pada candi tersebut, juga data prasasti yang dapat dihubungkan dengan candi tersebut. Namun dalam Negarakertagama disebutkan, bahwa pada tahun 1170 Saka, Raja Anusapati wafat dan didharmakan sebagai Siwa di Kidal. Sedangkan Pararaton menjelaskan Lina Sang Anusapati 1 Saka 1171. Dhirnarma Sira Ring Kidal. Dari kata tersebut dapat disimpulkan bahwa Candi Kidal adalah tempat Pendharmaan Raja Anusapati yang wafat tahun 1248 M, dengan demikian pendirian candi ini diperkirakan selesai pada saat diadakan upacara Sradha yang dilakukan 12 tahun setelah raja wafat yaitu sekitar tahun 1260 M. Latar belakang keagamaan Candi Kidal ini adalah Hindu, seperti yang dijelaskan dalam Negarakertagama bahwa Raja Anusapati wafat dan didharmakan di Kidal sebagai Siwa.

Candi Kidal yang sekarang ini adalah hasil pemugaran pada tahun 1986 – 1988 secara fisik dan penataan lingkungannya tahun 1989/1990 dipugar oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
Candi Kidal dibangun sebagai tempat pendarmaan Raja Anusapati yang wafat pada tahun 1248 M. Candi ini tergolong unik karena pada umumnya hiasan/relief pada sebuah candi bersifat Pradaksina (bahasa sansekerta yang berarti searah jarum jam), tetapi Candi Kidal justru bersifat Prasawya (bahasa sansekerta yang artinya berlawanan dengan arah jarum jam).

Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas yang ukurannya kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi ukurannya lebih kecil dibandingkan luas kaki dan atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.

Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka serta dua taring yang besar dan bengkok memberi kesan menakutkan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timur. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.

Hiasan pada bagian kaki Candi Kidal yang begitu indah dan menarik adalah relief garuda pada ketiga sisi kaki candi di mana relief itu diambil dari kisah Garudeya yang terdapat pada Kitab Adiparwa. Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular. Relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi berisi tirta amerta di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita yang adalah ibundanya bernama Winata. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.

Adapun cerita Garudeya sebagai berikut. Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).

Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular “bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu”. Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).

Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)
Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Candi Kidal setelah pemugaran terakhirnya yang selesai tahun 1992, dibuka dan diresmikan oleh Prof. DR. Fuad Hasan yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep “Dewa-Raja” yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, TegoWangi, Jawi, dan lain-lain.
***
Sumber: Papan Keterangan di Lokasi Candi Kidal.
Sebagai Pelengkap dikutip dari: Wikipedia.org.
Foto: pesonamalangraya.

Sumber: pesonamalangraya.com

0 comments:

Post a Comment