Candi Kidal
Saat tim pesonamalangraya
mendatangi Candi Kidal, kami merasa cukup puas karena kondisi lokasi
candi terawat dengan baik. Taman hijau di sekitar candi tertata dengan
rapi dan terawat. Disediakan juga toilet bagi para pengunjung. Namun
yang begitu mengesankan adalah kesan “Agung” dari candi tersebut masih
begitu terasa. Setelah mengisi buku tamu di pos juru kunci candi,
kamipun dengan tidak sabar langsung berjalan mendekati candi yang dari
kejauhan nampak indah sekali. Langit kelabu yang sewaktu-waktu dapat
mengguyurkan hujan lebat tidak kami hiraukan.
Sebuah arca Siwa yang sekarang disimpan
di “Royal Tripical Institute” Amsterdam, diduga berasal dari Candi
Kidal. Arca tersebut tingginya 1,23 meter, digambarkan dengan sikap
berdiri, bertangan empat, tangan kanan belakang memegang Aksamala,
tangan kiri belakang memegang Cemara. Kedua tangan depan ditekuk di muka
dada, telapak tangan kiri terbuka menghadap ke atas sedang telapak
tangan kanan ada di atas telapak tangan kiri dalam sikap menggenggam
dengan ibu jari diarahkan ke atas. Disampingnya terdapat bunga teratai
yang keluar dari bonggol, menunjukkan personifikasi dinasti Singasari.
Di dalam relung-relungnya tidak ditemukan arca. Seandainya arca Siwa
memang berasal dari ruangan candi, dapat diduga bahwa relung-relung
tersebut disediakan untuk arca Durga, Ganesha dan Agastya sebagaimana
lazimnya Candi Siwa. Arca yang ditemukan dari candi tersebut ialah arca
Nandiswara dan Mahakala. Arca-arca tersebut biasanya menempati
relung-relung di kanan-kiri pintu masuk candi. Arca-arca lain yang
pernah ditemukan adalah arca duduk yang diperkirakan dari Pantheon agama
Buddha, dan sebuah arca duduk yang lain mungkin arca Manjucri.
Selain itu masih ada temuan arca tanpa
kepala dengan ciri-ciri Cakra pada tangan belakang dan Sankha pada
tangan kiri (mungkin sekali arca Wisnu). Selain bangunan utama,
bekas-bekas bangunan berdenah segi empat panjang dengan sisa-sisa dua
buah tangga masuk pada sisi timur ujung utara dan selatan. Bahkan pada
tahun 1901 masih terlihat sisa-sisa bangunan dari batu merah di halaman
ini. Diduga Candi Kidal merupakan induk dari suatu komplek percandian
yang tak hanya terdiri dari satu halaman saja, melainkan dua halaman.
Relief Garuda
Relief Garuda dipahatkan pada pilaster
di tiap sisi kaki candi tepat pada sumbu ketiga sisi kaki candi.
Penggambaran relief adalah sebagai berikut:
1. Sisi Utara.
Garuda digambarkan dengan sikap badan
jongkok, kaki kanan ditekuk dengan lutut menumpu pada landasan. Tangan
kanan diangkat ke atas dengan sikap menyangga suatu benda yang bulat. Di
atas kepala Garuda duduk seorang wanita di atas Padma. Kaki kiri wanita
tersebut dalam sikap bersila, kaki kanannya menggantung ke bawah
disangga oleh tangan kanan Garuda. Disampingnya terukir tiga ekor naga.
2. Sisi Timur.
Garuda digambarkan dalam sikap yang sama
seperti sisi utara. Tangan kanan memegang seberkas ikatan, yang
ditafsirkan sebagai seikat kuca (rumput). Di atas kepala Garuda terdapat
Guci Amerta.
3. Sisi Selatan.
Garuda masih digambarkan dalam sikap
yang sama, di atas kepalanya ada tiga ekor naga. Naga-naga tersebut ada
di atas Padma. Ekor naga yang tengah menggantung ke bawah disangga oleh
tangan Garuda.
Relief itu menggambarkan cerita
Garudeya, yang pembacaannya diurutkan secara Pradaksina, berturut-turut
dari sisi utara adalah Garuda dengan ibunya, Garuda dengan Guci Amerta
yang telah direbutkan antara dewa dan Garuda dengan para naga.
Arah pembacaan relief menurut Prasawya, akan didapatkan susunan:
1. Sisi Selatan.
Garuda dalam kekuasaan para naga. Ibu Garuda masih dalam perbudakan Sang Kadru.
2. Sisi Timur.
Garuda telah mendapatkan Amerta sebagai
penebus Ibunya, seikat kuca (rumput) menjelaskan pada kita bahwa Amerta
telah direbut dari para Dewa dan kini disangkutkan pada Kuca, sementara
pada naga disuruh oleh Garuda membersihkan badannya sebelum minum
Amerta.
3. Sisi Utara.
Garuda siap berangkat bersama ibunya meninggalkan para naga karena telah bebas dari perbudakan Sang Kadru.
Masa Pembangunan dan Fungsi Candi Kidal.
Masa pendirian Candi Kidal tidak dapat
diketahui dengan pasti. Hal ini karena tidak adanya data pertanggalan
pada candi tersebut, juga data prasasti yang dapat dihubungkan dengan
candi tersebut. Namun dalam Negarakertagama disebutkan, bahwa pada tahun
1170 Saka, Raja Anusapati wafat dan didharmakan sebagai Siwa di Kidal.
Sedangkan Pararaton menjelaskan Lina Sang Anusapati 1 Saka 1171.
Dhirnarma Sira Ring Kidal. Dari kata tersebut dapat disimpulkan bahwa
Candi Kidal adalah tempat Pendharmaan Raja Anusapati yang wafat tahun
1248 M, dengan demikian pendirian candi ini diperkirakan selesai pada
saat diadakan upacara Sradha yang dilakukan 12 tahun setelah raja wafat
yaitu sekitar tahun 1260 M. Latar belakang keagamaan Candi Kidal ini
adalah Hindu, seperti yang dijelaskan dalam Negarakertagama bahwa Raja
Anusapati wafat dan didharmakan di Kidal sebagai Siwa.
Candi Kidal yang sekarang ini adalah
hasil pemugaran pada tahun 1986 – 1988 secara fisik dan penataan
lingkungannya tahun 1989/1990 dipugar oleh Proyek Pemugaran dan
Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
Candi Kidal dibangun sebagai tempat
pendarmaan Raja Anusapati yang wafat pada tahun 1248 M. Candi ini
tergolong unik karena pada umumnya hiasan/relief pada sebuah candi
bersifat Pradaksina (bahasa sansekerta yang berarti searah jarum jam), tetapi Candi Kidal justru bersifat Prasawya (bahasa sansekerta yang artinya berlawanan dengan arah jarum jam).
Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal.
Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas yang ukurannya
kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi
ukurannya lebih kecil dibandingkan luas kaki dan atap candi sehingga
memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion
serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3
tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas
mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna
(ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha).
Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon
tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian
kecil.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala
yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah
satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci.
Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan
matanya melotot, mulutnya terbuka serta dua taring yang besar dan
bengkok memberi kesan menakutkan. Adanya taring tersebut juga merupakan
ciri khas candi corak Jawa Timur. Di sudut kiri dan kanannya terdapat
jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
Hiasan pada bagian kaki Candi Kidal yang begitu indah dan menarik adalah relief garuda pada ketiga sisi kaki candi di mana relief itu diambil dari kisah Garudeya yang terdapat pada Kitab Adiparwa.
Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan
masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali
pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan
berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi
sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda
dibawah 3 ekor ular. Relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi berisi tirta amerta
di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita
yang adalah ibundanya bernama Winata. Di antara ketiga relief tersebut,
relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Adapun cerita Garudeya sebagai berikut.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi
Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki
anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus
mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di
antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas
ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih
Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut
segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil
menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala
keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata
selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas
tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya
kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya
sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda
Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor
ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari
perbudakan ini. Dijawab oleh ular “bawakanlah aku air suci amerta yang
disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan
susu”. Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat
ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda
sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa
dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan
Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda
tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda
meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga
harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu
pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada
patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun
kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).
Dengan bekal air suci amerta inilah
akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal
ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa
menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)
Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah,
candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan)
raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama
yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab
Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago,
Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos,
dsb.
Candi Kidal setelah pemugaran
terakhirnya yang selesai tahun 1992, dibuka dan diresmikan oleh Prof.
DR. Fuad Hasan yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga
berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya
kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan
erat dengan konsep “Dewa-Raja” yang berkembang kuat di Jawa saat itu.
Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan
relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada
candi Jago, Surowono, TegoWangi, Jawi, dan lain-lain.
***
Sumber: Papan Keterangan di Lokasi Candi Kidal.
Sebagai Pelengkap dikutip dari: Wikipedia.org.
Foto: pesonamalangraya.
0 comments:
Post a Comment