Friday, February 17, 2012

Prasasti Dinoyo

Prasasti Dinoyo II
Pada jaman penjajahan Belanda di Kelurahan Dinoyo pernah ditemukan sebuah prasasti tentang Kerajaan Kanjuruhan bertarikh 760 Masehi yang berisi tentang kejayaan Kerajaan Kanjuruhan saat dipimpin oleh rajanya Prabu Liswa yang bergelar GAJAYANA dan cerita tentang penggantian patung / arca agistya yang sebelumnya dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu dengan batu. Prasasti ini sangat tua karena menurut para ahli sejarah prasasti ini merupakan prasasti dari kerajaan tertua yang ditemukan di Jawa Timur jauh sebelum Singosari dan Majapahit.
Prasasti ini juga sangat unik, karena penggunaan bahasa dan huruf dalam prasasti, yaitu bahasa dan huruf Kawi atau Jawa Kuna bukan huruf dan bahasa Sansekerta yang biasa ditemukan pada sebagian besar prasasti yang ditemukan.
Karena ditemukan di daerah Kelurahan Dinoyo maka disebut dengan Prasasti Dinoyo, saat ini Prasasti Dinoyo disimpan di Museum Nasional di Jakarta.

Prasasti yang juga ditemukan di Kelurahan Dinoyo Kota Malang saat ini tersimpan di Museum Mpu Purwa Kota Malang dengan nomor : 117/MLG/2002. Prasasti ini ditemukan dengan tanpa sengaja pada saat penggalian pipa PDAM disekitar Kelurahan Dinoyo Kota Malang tepatnya tidak jauh dari (timur) pertigaan Jl. MT. Haryono – Jl. Gajayana pada tahun 1984 silam.
Oleh karena prasasti ini ditemukan jauh setelah Prasasti Dinoyo, maka prasasti ini juga disebut Prasasti Dinoyo 2 atau ada yang menyebut Prasastu Dang Hwan Hiwil.
Saat ditemukan, prasasti ini hampir hancur total (lihat gambar diatas), prasasti ini dianggap batu besar yang mengganggu saat penggalian tanah guna proyek pipanisasi PDAM tahun 1984, karena dianggap mengganggu maka batu besar tersebut dicongkel menggunakan linggis dan kemungkinan di pukul dengan palu besat, saat di hancurkan terlihat adanya tulisan pada batu tersebut, maka penggalian dihentikan dan dilaporkan kepada dinas purbakala saat itu.

Prasasti Dinoyo 2 juga berbahasa dan berhuruf Kawi atau Jawa Kuna. Adapun prasasti ini berisi tentang :
“Tahun 773 Caka bulan Magha hari Kamis Legi, Was, tanggal 8 Paro Terang (tanggal 15 Januari 851Masehi) Dang Hwan Sang Hiwil di Hujung membebaskan dan menetapkan sebidang sawah untuk diwariskan / dihbahkan kepada Dang Hyang Guru Candik guna kelangsungan pertapaannya. Namun kemudian hari sawah itu oleh kepala desa dijual kepada kepala desa Kandal (sekarang Kendalsari). Tahun 820 Caka, bulan Crawana hari Minggu *Legi, Mawulu, tanggal 8 Paro Gelap (tanggal 2 Juli 898 Masehi) Dang Hwan A… (tidak terbaca/hilang) di Hujung menetapkan kembali Sima sawah tersebut dan memberikan untuk dipakai lagi bagi kelangsungan pertapaan.”
Dengan demikian beberapa puluh tahun kemudian Dang Hwan A…. dari Hujung (sudah orang lain dari Dang Hwan Hiwil) telah membeli kembali dari kepala desa Kandal dan menetapkan kembali status sawah tersebut sebagai sawah perdikan untuk dipergunakan sebagai pertapaan.

Demikian kurang lebihya isi dari Prasasti Dinoyo 2, karena nama sawah dan lokasi tidak disebutkan maka prasasti ini juga disebut “Prasasti Dang Hwan Hiwil”. Siapa Dang Hwan Hiwil, ini juga belum terang siapa beliau dan berperan sebagai apa, yang disebutkan hanya dari Hujung, dimana Hujung kita sama – sama belum mengetahuinya karena tidak adanya referensi maupun fakta sejarah yang disebutkan nama – nama orang dan tempat didalam prasasti tersebut.
Dilihat dari tahun pembuatannya, diperkirakan tahun 898 Masehi, berarti pembuatan prasasti tersebut setelah lebih dari 100 tahun dari Prasasti Dinoyo (760 Masehi) dibuat, saat kekuasaan Kerajaan apa dan siapa rajanya sayangnya tidak disebutkan dalam Prasasti Dinoyo 2 tersebut.

Dapat disimpulkan dalam prasasti ini bahwa kejahatan sudah ada sejak jaman dahulu, buktinya pada abad ke 8 dan 9 Masehi kejahatan sudah ada dan pernah dilakukan, celakanya yang berbuat kejahatan adalah aparat negara atau paling tidak adalah orang yang terpandang masa itu (Kepala desa). Kejahatannya pun kalau kita lihat dengan kacamata hukum saat ini, bahwa Kepala Desa tersebut melanggar pasal 372 KUHP tentang penggelapan yang mana ancaman hukumannya adalah 4 tahun. Tidak disebutkan dalam prasasti tersebut tindakan hukum bagi si Kepala Desa. Beruntungnya lagi Kepala Desa tersebut tidak hidup dalam masa KUHP dibuat.

Didaerah Kota Malang khususnya Kelurahan Dinoyo, Kelurahan Merjosari, Kelurahan Tlogomas dan sekitarnya masih banyak peninggalan – peninggalan sejarah yang masih belum ditemukan dan masih berserakan di daerah tersebut, adanya benda – benda sejarah yang sudah ditemukan dan banyak yang tergeletak begitu saja di beberapa tempat, contohnya di Kampus universitas Gajayana Malang terdapat batu besar bersejarah peninggalan Kerajaan Kanjuruhan hanya teronggok begitu saja dan celakanya lagi digunakan para mahasiswa untuk nongkrong bahkan untuk meja makan, maklum para mahasiswa tersebut tidak mengetahui bahwa batu tersebut adalah batu bersejarah karena tidak ada tanda atau tulisan yang menyatakan bahwa batu tersebut adalah batu bersejarah.

Dimana tepatnya lokasi, menghadap kemana, seberapa besar istana dari Kerajaan Kanjuruhan juga belum ada referensi atau para ahli sejarah yang merekontruksi adanya kerajaan tersebut. Atau sudah ada para ahli sejarah yang meneliti tentang Kerajaan Kanjuruhan tetapi tidak ada kesempatan yang diberikan serta kepedulian dari instansi terkait untuk merespon penelitian tersebut dengan alasan klasik karena keterbatasan anggaran.
Bapak Suwardono salah satu ahli sejarah dari Kota Malang dan para ahli sejarah lainnya patut kita acungi jempol karena beliau – beliau masih peduli pada sejarah Kota Malang dan dari beliau inilah Prasasti Dinoyo 2 tersebut di terjemahkan dan juga beberapa prasasti lainnya seperti Prasasti Bunul dan sebagainya.
Semoga akan lebih banyak orang yang peduli dengan sejarah. Karena kita tidak mungkin melupakan sejarah. 
***
Sumber: www.bluefame.com 

1 comments:

Unknown said...

Bagus sekali dan informatif. Saya sudah lihat prasasti tsb di museum empu purwa.

Friday, January 18, 2013

Post a Comment