Friday, December 21, 2012

Museum Vianney


Tim kami sangat beruntung karena pada saat berkunjung ke Museum Vianney, Fr. Clemens BHK selaku Direktur dari Museum tersebut sedang berada di tempat, sehingga kami dapat bertatap muka dan berbincang-bincang dengan beliau. Mungkin dari sekitar lima museum yang terdapat di Malang Raya, Museum Zoologi “Frater Vianney BHK” atau lebih sering disebut dengan “Museum Vianney,” adalah museum yang kurang populer di kalangan masyarakat Kota Malang.

Lokasi museum yang cukup jauh dari pusat kota serta publikasi yang kurang, menjadikan museum ini tidak dikenal luas. Pengunjung museum ini rata-rata adalah anak-anak sekolah, dan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki minat terhadap Zoologi. Jarang sekali terlihat masyarakat umum yang sengaja berkunjung ke tempat ini. Museum yang terletak di Jalan Karangwidoro 7, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang ini, berada tidak jauh dari lokasi Candi Badut dan Candi Karangbesuki. Ratusan spesimen konkologi (cabang zoologi yang mempelajari kerang-kerangan darat dan laut) serta herpetologi (cabang zoologi yang mempelajari reptil) dalam keadaan sudah terklasifikasi. Koleksi yang sangat langka dan satu-satunya di Indonesia ini memang sangat cocok dijadikan media pembelajaran bagi para pelajar dan masyarakat umum.

Direktur Museum Zoologi, Frater M. Clemens BHK, menjelaskan bahwa ratusan koleksi museum itu adalah gabungan dari koleksi almarhum gurunya, Frater Vianney BHK dan koleksinya sendiri. Koleksi itu meliputi sedikitnya 80 famili hewan Mollusca (hewan avertebrata bertubuh lunak) yang ada di Indonesia. Ratusan spesimen di museum ini sudah tertata dan diidentifikasi dengan baik oleh kedua Frater tersebut; dan sebagian disumbangkan ke Perguruan Tinggi.

Gedung museum ini sendiri sebenarnya sudah cukup layak, hanya memang kurang luas, sehingga jika pengunjung cukup banyak, dipastikan mereka akan saling berdesakan. Museum ini terdiri dari dua ruang utama; ruang pertama untuk ruang terima tamu dan menyimpan beberapa koleksi kerang, ular hidup, dan penyu, sementara ruang kedua berisi lemari-lemari besar yang bagian depannya ditutup dengan kaca untuk display koleksi aneka macam kerang, dan beberapa hewan yang diawetkan. Semuanya terawat dengan baik. 

Dari semua koleksi yang dikumpulkan di sini, yang paling mencolok adalah koleksi kerang yang mencakup segala macam ukuran dan bentuk, seperti Kima yang berukuran besar, Kerang Mutiara berbentuk pipih, Telescopium yang menyerupai teleskop. Juga terdapat Nautilus  yang selama 500 juta tahun bentuk fisiknya tidak mengalami perubahan sehingga dipuja sebagai fosil hidup. Juga kerang Epitonium yang sangat langka. Koleksi museum lainnya adalah burung Cendrawasih, burung hantu, kura-kura, kubung terbang. Dari kelas reptilia ada ular awetan basah meliputi ular weling, ular cincin mas, ular hijau; serta Iguana, dan juga terdapat awetan kering Singa (Panthera leo) hadiah dari Ngayogyakarta Hadiningrat.

Koleksi Kerang

Taring Ikan Paus & Ikan Pari Sengat

Ratusan pelajar dari berbagai sekolah secara berkala mengunjungi museum ini sebagai tempat pembelajaran terutama dalam bidang biologi. Bahkan untuk beberapa sekolah, kunjungan ke museum ini merupakan kunjungan berkala bagi anak didik baru agar lebih mengenal keanekaragaman fauna.

Sekilas Kisah Fr.Clemens BHK

Mencermati gaya hidup Frater Maria Vianney BHK, penampilan, cara mengajar, kedekatannya dengan sesama, cinta pada ilmu pengetahuan, sangat mempesona dan memikat hati. Seluruh gaya hidup beliau berimbas pada saya selaku anak didiknya. Saya kagum dan merasa tertarik. Dari keterpesonaan inilah, akhirnya seluruh jalan hidup saya mengalir dan bermuara ke sumber dan muara yang dilewati oleh Vianney. Saya akhirnya dengan ikhlas menggabungkan diri dengan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). Pada 1961 saya resmi menjadi anggota kongregasi dalam acara penerimaan dan pengenaan busana (jubah) kebiaraan.

Family Camaendae

Mulai saat itu namaku yang semula JOHANES DJUANG KEBAN berubah menjadi Frater MARIA CLEMENS BHK. Juni 1963 saya menyelesaikan pendidikan Sekolah Guru A (SGA) dan dipindahkan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk mengajar di Sekolah Dasar Katolik yang dikelola oleh Yayasan Swastisari. Sebelum itu, Vianney telah dipindahkan ke Ndao, Ende, Flores, sebagai kepala SGA Ndao. 

Rencana mutasi saya ke Kupang ternyata terhambat sulitnya mendapatkan kapal dari Larantuka ke Kupang. Saya disarankan untuk menunggu di Ende, yang selalu disinggahi dua kapal Pelni (KM Rainy dan KM Nanas) secara reguler. Betapa hati saya berbunga karena akan berjumpa dengan Vianney. Selama saya di Ende, beliau meminjami saya buku tentang ular Ophidia javanica. Buku ini karangan beliau sendiri. Saya diminta mempelajari dan meringkasnya untuk dibawa ke Kupang, Pulau Timor. Akhirnya, pada pertengahan September 1963 dengan KM Nanas saya tiba di Kupang, kota karang. Di sini niat mengoleksi bakat ‘turunan’ itu mulai kuwujudkan.

Tridaena Gigas & Penyu

Kegiatan saya setiap hari Sabtu sepulang sekolah ialah bersepeda keluar kota Kupang bersama sejumlah anak SD. Kami memasuki semak belukar sepanjang pesisir pantai atau naik turun bukit kapur. Kegiatan ini memang ekstra repot. Harus membungkukkan tubuh, melirik ke lubang-lubang batu, barangkali di sana buruan-buruan kami sedang istirahat (ular, gecko, atau biawak).

Desember 1963, musim penghujan, tampak alam menghijau permai. Kami menangkap biawak (Varanus) yang asyik berkeliaran memangsa laron. Kali ini kami menangkap tiga ekor biawak. Biawak ini kemudian diteliti. Saya menyimpulkan bahwa ini bukan biawak biasa [umumnya disebut Varanus salvator, yang dagingnya biasa disantap]. Panjangnya mencapai dua meter. [Yang biasa ditangkap di Pulau Timor mencapai 80 cm. Warna dasar cokelat tua diselingi bintik-bintik kuning. Biawak jenis ini biasa berkeliaran pada musim hujan.

Lemari-lemari kaca untuk menyimpan koleksi di Museum

Saya mengalami hambatan dalam proses pengawetan. Bagaimana harus menyuntik, memasukkan formalin 40 persen. Ada usulan bahwa saya berkonsultasi ke kantor Dinas Kehewanan. Akhirnya, saya berhasil menjumpai Bapak Djari. Selain dekan Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Bapak Djari juga menjabat kepala Dinas Kehewanan. Menurut beliau, formalin dapat dibeli di rumah sakit. Dan beliau berjanji membantu penyuntikan Varanus.

Akhirnya, saya mulai mengandalkan imajinasi saya. Pyton timorensis nama yang kuberikan kepada sejenis ular pyton yang saya tangkap di Pulau Timor. Untuk biawak kuberi nama Varanus timorensis meskipun saya sendiri menyangsikannya.

Seekor yang telah diawetkan saya kirim kepada Frater Vianney di Ende, Flores. Apa jawaban beliau? Ternyata, menurut Vianney, Varanus itu juga terdapat di Australia Utara. Sedangkan nama yang kuberikan sangat tepat, katanya.

Frater Clemens dan seorang pengunjung <> Tim kami saat sedang berbincang dengan Fr.Clemens BHK

Sekilas Kisah Fr.Vianney BHK

Oleh Frater M Clemens BHK
“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama!” demikian peribahasa kita.

Hidup, karya, serta kharisma Frater M Vianney BHK telah menjadi sejarah Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). Nama beliau tetap hidup, mencuat, dan menantang kita, selaku penerus karya maha luhur ini.

Syukur, kharisma khusus ini diturunkan dan terpatri indah dalam sanubari seorang mantan anak didiknya, yang sangat mencintai sang gurunya. Dialah Frater M Clemens BHK.
Pada tahun-tahun akhir hidupnya, Frater Maria Vianney BHK [meninggal 5 Maret 1970] mendalami ilmu tentang kulit siput dan kerang. Inilah yang disebut konkologi (conchology): Ilmu yang mempelajari cangkang siput dan kerang.

Keasyikannya tidak sekadar berteori dengan mempelajari buku, tapi ia justru terjun langsung ke objek alam kerang dan cangkang. Ia asyik mengumpulkan dan mengoleksi sendiri. Di kala pasang surut ia mencari cangkang yang masih ada binatangnya. Cangkang yang telah sekian lama dan warna aslinya pudar atau hilang warnanya disingkirkan. Untuk memperoleh siput dan kerang yang hidup di laut dalam, Vianney meminta bantuan orang untuk menyelam.

Sesampai di biara, cangkang dibersihkan dengan mengeluarkan binatangnya dengan menggunakan air. Kemudian cangkang-cangkang itu diklasifikasi menurut famili, genus, spesies, tempat, serta tanggal penemuan. Masing-masing disusun dalam lemari kaca sehingga mudah dipandang saat orang mengadakan penelitian.

Frater Clemens BHK (paling kiri) saat soft opening Museum Zoologi Frater Vianney pada 27 November 2004

Frater Maria Vianney adalah seorang berkebangsaan Belanda. Beliau seorang biarawan (rohaniwan) Katolik dari Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK). JKP van Hoessel, nama pemberian orang tuanya, dilahirkan di Apeldoorn pada 2 Agustus 1908. Sedari muda dalam gemblengan keluarganya, ia mulai merasakan adanya getaran kalbu, terpanggil untuk hidup membiara. Maka, pada 29 Agustus 1927 ia menggabungkan diri dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus dan memilih nama Frater Maria Vianney, lazim disapa Fr. M. Vianney BHK.

Sebelum Perang Dunia II, ia diutus berlayar ke tanah misi. Menuju ke sebuah negeri indah di ufuk timur belahan bumi, negeri khatulistiwa, Nusantara, Indonesia. Dan misionaris muda karismatik ini ditugasi untuk berkarya di Malang, kota dingin di Jawa Timur, selanjutnya Ende (Flores Tengah), kemudian Larantuka (Flores Timur). Di ketiga kota ini beliau bertugas sebagai guru.

Seorang Guru Yang Sabar

Tahun 1959, saya berstatus siswa Sekolah Guru Atas (SGA) atau Pendidikan Sekolah Guru A. Di taman pendidikan guru ternama inilah, untuk pertama kalinya, saya berjumpa dengan Fr. M. Vianney. Waktu itu beliau sebagai pejabat kepala sekolah dan juga guru.

Beliau mengajarkan bidang studi Ilmu Hayat (Biologi). Sebelum mengajar, ia telah menyiapkan diri secara cermat dan selektif. Dipilihnya sejumlah pertanyaan tentang ilmu tubuh manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan ilmu kesehatan. Pertanyaan-pertanyaan itu dicatat di papan dan siswa menulis dalam buku catatannya.
Setiap kali masuk kelas untuk mengajar, Vianney membawa buku-buku pelajaran, termasuk sebatang tongkat kayu. Pada momen-momen tertentu kayu itu ikut ‘berbicara’ (mengajar). Jika tongkat itu dibunyikan berarti semua aktivitas dihentikan. Pandangannya diarahkan kepada setiap siswa secara merata (menyapu). Siswa yang tidak peduli –masih beraktivitas– didekatinya dengan tenang dalam kondisi sabar menanti. Selanjutnya, dalam gaya menarik, penuh wibawa, dijelaskannya satu per satu semua pertanyaan itu. Penjelasan yang singkat dan sarat isi serta mudah dipahami oleh siswa.

Koleksi Kerang

Apa yang dilakukan Vianney jika kelihatan ada siswa yang mulai lesu? Untuk membangkitkan semangat siswa, ia beberapa kali melemparkan tongkat ke atas dan berusaha menangkapnya dalam gaya seorang mayoret. Atau cara lain: Vianney mulai menggerak-gerakkan gerahamnya sehingga kedua telinganya pun ikut bergerak. Tentu, ini suatu keterampilan ekstra yang langka, yang tidak dimiliki orang lain.

Setiap akhir suatu pelajaran, Vianney menyumbangkan nasihat kecil kepada anak didiknya. Apa muatan nasihat itu? Motivasi belajar untuk calon guru agar aktif menyiapkan diri sebelum berguru di masyarakat. Carilah buku-buku sumber! Belajarlah secara autodidak! Berinisiatif!

Celakalah, menurut Vianney, jika para calon guru ini hanya berkelakar tentang hal-hal yang sepele.

0 comments:

Post a Comment